Menghafal Al quran tak hanya butuh keseriusan tapi juga rasa cinta yang kuat, mengapa butuh rasa cinta, bukankah menghafal hanya sekedar menghafal? Inilah 7 alasan mengapa sikap mencintai Al – quran itu sangat penting.
Ketika rasa cinta terpatri dalam dada maka itu menjadi prioritas utama, bahkan menjadi tujuan kita hidup. Namun apakah yang kita cintai memang disenangi pula oleh Sang Maha Cinta?, jangan – jangan kita salah meletakkan rasa tersebut sehingga kita seringkali gagal bahkan sengsara ketika merawat dan menumbuhkannya.
Inilah alasan mengapa Prof. Ir. Joni Hermana, seorang mantan rektor di sebuah Universitas ternama rela meninggalkan jabatannya. Beliau mengambil keputusan yang tak biasa, di tengah prestasi gemilang yang telah dicapainya, di saat banyak orang berjuang keras untuk mendapatkan gelar akademik dan jabatan tinggi, beliau justru memilih untuk melepaskannya.
Keputusan berat ini ia ambil bukan tanpa alasan, ada keinginan yang mendalam untuk mencurahkan hidup dan matinya demi mempelajari dan menghafal Al-Qur’an.
Bagi banyak orang, punya jabatan rektor adalah pencapaian yang besar, apalagi di sebuah Universitas ternama. Namun baginya, di balik kesuksesan yang dicapai, ada kerinduan yang lebih besar, kerinduan untuk mendekatkan diri kepada Al-Qur’an.
Setiap hari semakin gelisah, hatinya selalu kosong dan risau. Membuat beliau mempertanyakan kembali arti dari semua pencapaian yang telah diraih.
Apa arti semua gelar, penghargaan, dan jabatan jika hati tidak tenang? Di titik inilah ia memutuskan untuk meninggalkan semuanya dan berfokus sepenuhnya pada Al-Qur’an.
Perjalanan Hidup Sang Mantan Rektor
Ia memulai perjalanan akademisnya dengan semangat yang tinggi, mengikuti segala proses panjang yang membawa dirinya hingga menjadi seorang profesor dan rektor di universitas ternama. Selama masa itu, ia tidak hanya memimpin institusi, tetapi juga menjadi panutan bagi banyak mahasiswa, dosen, dan staf. Setiap langkahnya diwarnai dengan dedikasi untuk pendidikan, ilmu pengetahuan, dan pengembangan karakter generasi muda.
Lewat akun facebooknya, beliau menuliskan pengalaman hidupnya saat masih bersekolah dari SD hingga SMA yang selalu mendapatkan peringkat 1. Keluarganya pun merasa senang karena ia pintar dan berprestasi, ayah dan ibunya pun selalu memeluknya dengan bangga.
“Aku masuk perguruan tinggi ternama pun, tanpa embel-embel test. Orang tua dan teman-teman ku merasa bangga terhadap diriku. Tatkala aku kuliah IPK ku selalu 4 dan lulus dengan predikat cum laude,” tutur Joni yang dilahirkan di Bandung pada tanggal 18 Juni 1960.
(Dilansir dari laman askara.co)
Saat kelulusan semua merasa bahagia, para rektor dan dosen menyalami nya dan merasa bangga karena memiliki mahasiswa seperti dirinya. Lulus dengan predikat cum laude, tentu Orang tuanya paling bahagia dan bangga. Teman – temannya pun merasa gembira. Semua wajah memancarkan kebahagian.
“Lulus dari perguruan tinggi aku bekerja di sebuah perusahaan bonafid. Karirku sangat melejit dan gajiku sangat besar. Semua pun merasa bangga dengan diriku, semua rekan bisnisku selalu menjabat tanganku, semua hormat dan menghargai diriku, teman-teman lama pun selalu menyebut namaku sebagai salah satu orang sukses,” ungkapnya.
Ketika Hidupnya Terasa Hampa
Walaupun dipandang sukses dan hebat, ada satu hal yang terasa kurang; sesuatu yang belum pernah ia dapatkan dalam perjalanan hidupnya selama ini. Hatinya merasa hampa dan cemas, perasaan sepi setiap hari semakin menghantui.
Ia mulai bertanya pada dirinya sendiri, “Apa yang sebenarnya aku cari dalam hidup ini? Apakah hanya gelar dan jabatan yang akan memberikan kebahagiaan yang sebenarnya?”.
Perlahan-lahan, ia menyadari bahwa kedamaian yang ia cari tidak bisa ditemukan hanya dari kesuksesan duniawi saja. Ada sesuatu yang lebih tinggi, sesuatu yang lebih mendalam yang bisa memberikan ketenangan hati.
Sejak saat itu, Al-Qur’an menjadi pusat perhatiannya. Meski sebelumnya ia telah mempelajari dan membaca Al-Qur’an, namun kini ia ingin melakukannya dengan cara yang berbeda. Ia ingin lebih mendalami setiap ayat, menghafalkannya, dan menjadikan Al-Qur’an sebagai bagian utama dari kehidupannya. Ia ingin tidak hanya membaca, tetapi memahami dan menghayati kandungannya, meresapi pesan-pesan yang terkandung di dalamnya.
Meninggalkan Jabatan dan Gelar untuk Al-Qur’an
Prof. Joni Hermana memutuskan untuk meninggalkan segala pencapaian yang telah ia raih untuk mengejar akhirat dan ridha-Nya. Ia memilih untuk merantau dan mempelajari Alquran dan hadits serta menghafalkan Alquran 30 juz. Ia membuang segala titel keduniaannya dan berikrar untuk berjuang bersama barisan Pembela Rasulullah SAW.
“Semua orang mencemooh dan memaki diriku. Tak ada lagi pujian, senyum kebanggaan, peluk hangat dan lain-lain. Yang ada hanyalah cacian. Terkadang orang memaki diriku, buat apa sekolah tinggi-tinggi kalau akhirnya masuk pesantren, dia itu orang bodoh. Sudah punya pekerjaan enak ditinggalin,” tandasnya.
Dirinya merasa sedih ketika berbagai cacian dan hinaan dilontarkan oleh orang kepadanya, termasuk dari keluarganya sendiri.
“Apa ada lulusan perguruan tinggi terkenal masuk pondok tahfiz? Gak sayang apa udah dapat kerja enak, mau makan apa dan dari mana lagi? kata mereka. Ya, pertanyaan-pertanyaan itu terus menyerang dan menyudutkan diriku,” ungkapnya.
Tangis Tak Terbendung Ketika Shalat Shubuh
Suatu ketika ia mengajak Ibunya ke Masjid untuk shalat shubuh berjamaah. Shalat shubuh tersebut akan menjadi kenangan yang akan selalu ia ingat seumur hidup. Ia mengajak Ibunya ke Masjid tempat dimana ia biasa menjadi imam.
“Kuangkat tangan seraya mengucapkan takbir. Allaaahuu akbaar. Kuagungkan Allah dengan seagung-agungnya. Kubaca doa iftitah dalam hatiku, berdesir hati ini rasanya. Kulanjutkan membaca,” ujarnya
Al-Fatihah, Bismillahirrahmaanirrahiiim, (sampai di sini hatinya bergetar), dia sebut nama-Nya yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Alhamdulillahirabbil alamiin.
Ia memanjatkan puji-pujian untuk Rabb semesta alam. Dia lanjutkan bacaan pelan-pelan, dihayati surah Al-Fatihah dengan seindah-indahnya taddabur, tanpa terasa air mata jatuh membasahi wajahnya.
Prof. Joni tercekat lidahnya dan kesulitan melanjutkan ayat, Arrahmaanirrahiim, lalu melanjutkan ayat dengan nada yang mulai bergetar. Malikiyaumiddin, kali ini dia sudah tak kuasa menahan tangisnya. Iyyaka na’budu wa iyyaka nastaiin, “Yaa Allah hanya kepada-Mu lah kami menyembah dan hanya kepada-Mu lah kami meminta pertolongan,” Prof. Joni Hermana melanjutkan bacaannya.
Hatinya terasa tercabik-cabik, sering kali dirinya menuntut kepada Allah untuk memenuhi kebutuhannya, tapi dia lalai melaksanakan kewajiban kepada-Nya. “Sampailah aku pada akhir ayat dalam surah Al-Fatihah. Kuseka air mata dan kutenangkan sejenak diriku,” tuturnya.
Selanjutnya Prof. Joni Hermana membaca Surah ‘Abasa. Dia hanyut dalam bacaannya, terasa syahdu, hingga terdengar isak tangis jamaah sesekali. Bacaan terus mengalun, hingga sampailah pada ayat 34. “Tangisku memecah sejadi-jadinya,” ungkapnya.
Yauma yafirrul mar’u min akhiih, wa ummihii wa abiih, wa shaahibatihi wa baniih, likulliimriim minhum yauma idzin sya’nuy yughniih. “Tangisku pun memecah, tak mampu kulanjutkan ayat tersebut, tubuhku terasa lemas,” ujarnya.
Setelah salat subuh selesai, dalam perjalanan pulang, ibunya bertanya, “Mengapa kamu menangis saat membaca ayat tadi, apa artinya?”
Prof. Joni menghentikan langkahnya lalu menjawab pertanyaan ibunya. Dia tatap wajah ibunya dalam-dalam sambil berkata, “Wahai ibu, ayat itu menjelaskan tentang huru-hara padang mahsyar saat kiamat nanti. Semua akan lari meninggalkan saudaranya, ibunya, bapaknya, istri dan anak-anaknya. Semuanya sibuk dengan urusannya masing-masing. Bila kita kaya orang akan memuji dengan sebutan orang yang berjaya. Namun ketika kiamat terjadi apalah gunanya segala puji-pujian manusia itu. Semua akan meninggalkan kita. Bahkan ibupun akan meninggalkan aku,” terangnya.
Ibunya pun meneteskan air mata, Prof. Joni Hermana lalu menyeka air matanya. “Kulanjutkan, Aku pun takut Bu, bila di Mahsyar bekal yang kubawa sedikit. Pujian orang yang ramai selama bertahun-tahun pun kini tak berguna lagi. Lalu kenapa orang beramai-ramai menginginkan pujian dan takut mendapat celaan. Apakah mereka tak menghiraukan kehidupan akhiratnya kelak?” tanya Prof. Joni Hermana.
Sang ibu memeluknya dan tersenyum. Ibunya mengungkapkan, betapa bahagianya ia mempunyai anak seperti dirinya. Baru kali ini Prof. Joni Hermana merasa bahagia, karena ibunya bangga terhadap dirinya. Walaupun sang ibu selalu memeluknya atas apapun pencapaian yang ia raih, namun baru kali ini pelukan itu sangat membekas dalam jiwa Prof. Joni Hermana.
Kesimpulan (Reminder)
Kisah Prof. Joni Hermana ini mengingatkan kita sebagai umat manusia untuk tidak melupakan ibadah. Jangan sampai karena urusan dunia membuat kita lupa akan akhirat. Setinggi apapun titel dan jabatan di dunia, hal itu tidak akan menolong kita di hari pembalasan kecuali amal ibadah.
Allah Azza wa Jalla berfirman dalam surah al-Hasyr ayat ke-18 yang artinya, “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” Wallahu a’lam.
Tinggalkan Balasan